I. PENDAHULUAN
Zakat profesi merupakan salah satu kasus baru dalam fiqh (hukum Islam). Al-Quran dan al-Sunnah, tidak memuat aturan hukum yang tegas mengenai zakat profesi ini. Begitu juga ulama mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi^i, dan Ahmad ibn Hanbal tidak pula memuat dalam kitab-kitab mereka mengenai zakat profesi ini. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya jenis-jenis usaha atau pekerjaan masyarakat pada masa Nabi dan imam mujtahid. Sedangkan hukum Islam itu sendiri adalah refleksi dari peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi ketika hukum itu ditetapkan.Tidak munculnya berbagai jenis pekerjaan dan jasa atau yang disebut dengan profesi ini pada masa Nabi dan imam-imam mujtahid masa lalu, menjadikan zakat profesi tidak begitu dikenal (tidak familiar) dalam Sunnah dan kitab-kitab fiqh klasik. Dan adalah wajar apabila sekarang terjadi kontroversi dan perbedaan pendapat ulama di sekitar zakat profesi ini. Ada ulama yang mewajibkannya dan ada pula ulama yang secara apriori tidak mewajibkannya.Namun demikian, sekalipun hukum mengenai zakat profesi ini masih menjadi kontroversi dan belum begitu diketahui oleh masyarakat muslim pada umumnya dan kalangan profesional muslim di tanah air pada khususnya, kesadaran dan semangat untuk menyisihkan sebagian penghasilan sebagai zakat yang diyakininya sebagai kewajiban agama yang harus dikeluarkannya cukup tinggi. Forum diskusi ini barangkali bisa kita jadikan semacam indikasi bagaimana kalangan profesional kita sangat respek terhadap masalah zakat profesi ini.Makalah ini mencoba mengemukakan beberapa pokok pikiran berkenaan dengan hukum zakat profesi dengan judul ZAKAT PROFESI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (FIQH). Judul ini sengaja dibuat dengan memakai perspektif hukum Islam (fiqh) karena di samping penulis, ada pula pemakalah yang melihatnya dalam perspektif yang lain.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Profesi dan Zakat Profesi

Profesi atau profession, dalam terminologi Arab dikenal dengan istilah al-mihn. Kalimat ini merupakan bentuk jama^ dari al-mihnah yang berarti pekerjaan atau pelayanan. Profesi secara istilah berarti suatu pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan, keahlian, dan kepintaran. Yusuf al-Qardhawi lebih jelas mengemukakan bahwa profesi adalah pekerjaan atau usaha yang menghasilkan uang atau kekayaan baik pekerjaan atau usaha itu dilakukan sendiri, tanpa bergantung kepada orang lain, maupun dengan bergantung kepada orang lain, seperti pemerintah, perusahaan swasta, maupun dengan perorangan dengan memperoleh upah, gaji, atau honorium. Penghasilan yang diperoleh dari kerja sendiri itu, merupakan penghasilan proesional murni, seperti penghasilan seorang dokter, insinyur, deseiner, advokat, seniman, penjahit, tenaga pengajar (guru, dosen, dan guru besar), konsultan, dan sejenisnya. Adapun hasil yang diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan dengan pihak lain adalah jenis-jenis pekerjaan seperti pegawai, buruh, dan sejenisnya. Hasil kerja ini meliputi upah dan gaji atau penghasilan-penghasilan tetap lainnya yang mempunyai nisab.

Adapun zakat profesi adalah zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun yang dilakukan bersama dengan orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nisab (batas minimum untuk bisa berzakat). Contohnya adalah profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, seniman, dan lain-lain.

B. Hukum Zakat Profesi
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, profesi merupakan bentuk usaha-usaha yang relatif baru yang tidak dikenal pada masa pensyari^atan dan penetapan hukum Islam. Karena itu, sangat wajar bila kita tidak menjumpai ketentuan hukumnya secara jelas (tersurat) baik dalam al-Quran maupun dalam al-Sunnah.

Menurut ilmu ushul fiqh (metodologi hukum Islam), untuk menyelesaikan kasus-kasus yang tidak diatur oleh nash (al-Quran dan al-Sunnah) secara jelas ini, dapat diselesaikan dengan jalan mengembalikan persoalan tersebut kepada al-Quran dan sunnah itu sendiri. Pengembalian kepada dua sumber hukum itu dapat dilakukan dengan dua cara, yakni dengan perluasan makna lafaz dan dengan jalan qias (analogi).

Khusus mengenai zakat profesi ini dapat ditetapkan hukumnya berdasarkan Perluasan cakupan makna lafaz yang terdapat dalam Firman Allah, Q.S. 2; 267, yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang telah Kami keluarkan dari bumi untuk kamu

(apa saja yang kamu usahakan) dalam ayat di atas pada dasarnya bersifat umum, namun ulama kemudian membatasi pengertiannya terhadap beberapa jenis usaha atau harta yang wajib dizakatkan, yakni harta perdagangan, emas dan perak, hasil pertanian dan peternakan. Pengkhususan terhadap beberapa bentuk usaha dan harta ini tentu saja membatasi cakupan lafaz umum pada ayat tersebut sehingga tidak mencapai selain yang disebutkan tersebut. Untuk menetapkan hukum zakat profesi, lafaz umum tersebut mestilah dikembalikan kepada keumumannya sehingga cakupannya meluas meliputi segala usaha yang halal yang menghasilkan uang atau kekayaan bagi setiap muslim. Dengan demikian zakat profesi dapat ditetapkan hukumnya wajib berdasarkan keumuman ayat di atas.

Dasar hukum kedua mengenai zakat profesi ini adalah qias atau menyamakan zakat proesi dengan zakat-zakat yang lain seperti zakat hasil pertanian dan zakat emas dan perak. Allah telah mewajibkan untuk mengeluarkan zakat dari hasil pertaniannya bila mencapai nishab 5 wasaq (750 kg beras) sejumlah 5 atau 10 %. Logikanya bila untuk hasil pertanian saja sudah wajib zakat, tentu untuk profesi-profesi tertentu yang menghasilkan uang jauh melebihi pendapatan petani, juga wajib dikeluarkan zakatnya.

Di samping qias kepada pertanian, secara khusus juga dapat dikiaskan terhadap sewaan. Yusuf al-Qardhawi mengemukakan bahwa ulama kontemporer, seperti A. Rahman Hasan, Abu Zahrah, abdul Wahab Khalaf, menemukan adanya persamaan dari zakat profesi dengan zakat penyewaan yang dibicarakan Imam Ahmad Ibn Hanbal. Ahmad diketahui berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan sewa yang cukup banyak. Orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerima sewa tersebut. Menurut Qardawi, persamaan antara keduanya adalah dari segi kekayaan penghasilan, yaitu kekayaan yang diperoleh seorang muslim melalui bentuk usaha yang menghasilkan kekayaan. Karena profesi merupakan bentuk usaha yang menghasilkan kekayaan, sama dengan menyewakan sesuatu, wajib pula zakatnya sebagaimana wajibnya zakat hasil sewaan tersebut.

Dasar hukum yang lain adalah dengan melihat kepada tujuan disyari^atkanya zakat, seperti untuk membersihkan dan mengembangkan harta, serta menolong para mustahiq (orang-orang yang berhak menerima zakat). Juga sebagai cerminan rasa keadilan yang merupakan ciri utama ajaran Islam, yaitu kewajiban zakat pada semua penghasilan dan pendapatan.

Minimal dengan tiga alasan di atas, penulis cenderung untuk mengatakan bahwa zakat profesi sama hukumnya dengan zakat-zakat bidang usaha lain, seperti perdagangan, emas dan perak, tanaman, dan binatang ternak, yaitu wajib.

C. Nisab Zakat Profesi dan Cara Perhitungannya.
Nisab merupakan batas minimal atau jumlah minimal harta yang dikenai kewajiban zakat. Karena zakat profesi ini tergolong baru, nisabnya pun mesti dikembalikan (dikiaskan) kepada nishab zakat-zakat yang lain, yang sudah ada ketentuan hukumnya.

Ada dua kemungkinan yang dapat dikemukakan untuk ukuran nishab zakat profesi ini.
1. Disamakan dengan nishab zakat emas dan perak, yaitu dengan mengkiaskannya kepada emas dan perak sebagai standar nilai uang yang wajib dikeluarkan zakatnya, yakni 20 dinar atau 93,6 gram emas. Berdasarkan Hadis Riwayat Daud:
( Tidak ada suatu kewajiban bagimu-dari emas (yang engkau miliki)hingga mencapai jumlah 20 dinar)
2. Disamakan dengan zakat hasil pertanian yaitu 5 wasq ( sekitar 750 kg beras). Zakatnya dikeluarkan pada saat diterimanya penghasilan dari profesi tersebut sejumlah 5 atau 10 %, sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.

Karena profesi itu sendiri bermacam-macam bentuk, jenis dan perolehan uangnya, penulis cenderung untuk tetap memakai kedua macam standar nisab zakat tersebut dalam menentukan nishab zakat profesi, dengan perimbangan sebagai berikut.

Pertama, Untuk jenis-jenis profesi berupa bayaran atas keahlian, seperti dokter spesialis, akuntan, advokat, kontraktor, arsitek, dan profesi-profesi yang sejenis dengan itu, termasuk juga pejabat tinggi negara, guru besar, dan yang sejajar dengannya, nishab zakatnya disamakan dengan zakat hasil pertanian, yakni senilai kurang lebih 750 kg beras (5 wasaq). Meskipun kelihatannya pekerjaan tersebut bukan usaha yang memakai modal, namun ia sebenarnya tetap memakai modal, yaitu untuk peralatan kerja, transportasi, sarana kominikasi seperti telephon, rekening listrik, dan lain-lain, zakatnya dikiaskan atau disamakan dengan zakat hasil pertanian yang memakai modal, yakni 5 %, dan dikeluarkan ketika menerima bayaran tersebut. Ini sama dengan zakat pertanian yang yang menggunakan biaya irigasi (bukan tadah hujan).

Dengan demikian, jika harga beras 1 kg Rp. 3200, sedangkan nisab (batas minimal wajib zakat) tanaman adalah 750 kg, maka untuk penghasilan yang mencapai Rp. 3.200 x 750 = Rp. 2.400.000., wajib mengeluarkan zakatnya sebanyak 5% nya yakni Rp. 120.000.-

Pendapat semacam ini sesuai dengan pendapat Muhammad Ghazali, sebagaimana yang dikutip Yusuf Qardawi, bahwa dasar dan ukuran zakat penghasilan tanpa melihat modalnya, dapat disamakan dengan zakat pertanian yaitu 5 atau 10 persen. Kata Ghazali, siapa yang memiliki pendapatan tidak kurang dari pendapatan seorang petani, terkena kewajiban zakat. Maka gologan profesionalis wajib mengeluarkan zakatnya sebesar zakat petani tersebut, tanpa mempertimbangkan keadaan modal dan persyaratan lainnya.

Seperti ini pula yang ditetapkan oleh Kamar Dagang dan Industri kerajaan Arab Saudi, bahwa penghasilan profesi yang bukan bersifat perdagangan, dikiaskan nisab zakatnya kepada zakat hasil tanam-tanaman dan buah-buahan dengan kadar zakat ssebesar 5%.

Tawaran seperti ini lebih kecil dari yang diusulkan oleh M. Amin Rais, dalam bukunya Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta. Menurutnya profesi yang mendatangkan rizki dengan gampang dan cukup melimpah, setidaknya jika dibandingkan dengan penghasilan rata-rata penduduk, sebaiknya zakatnya ditingkatkan menjadi 10 persen (?usyur) atau 20 persen (khumus). Lebih jauh Amin mempersoalkan masih layakkah, profesi-profesi moderen seperti dokter spesialis, komisaris perusahaan, bankir, konsultan, analis, broker, pemborong berbagai konstruksi, eksportir, inportir, notaris, artis, dan berbagai penjual jasa serta macam-macam profesi kantoran (white collar)lainnya, hanya mengeluarkan zakat sebesar 2,5 persen, dan lebih kecil dari petani kecil yang zakat penghasilannya berkisar sekitar 5 sampai 10 persen. Padahal kerja tani jelas merupakan pekerjaan yang setidak-tidaknya secara fisik. Cukupkah atau sesuaikan dengan spirit keadilan Islam jika zakat terhadap berbagai profesi moderen yang bersifat making-money tetap 2,5 persen? Layakkah presentasi sekecil itu dikenakan terhadap profesi-profesi yang pada zaman Nabi memang belum ada.

Hemat penulis, pendapat Amin Rais di atas sebenarnya cukup logis dan cukup argumentatif, namun membandingkan profesi dengan rikaz (barang temuan) agaknya kurang tepat. Rikaz diperoleh dengan tanpa usaha sama sekali, sementara profesi membutuhkan usaha dan keahlian serta biaya yang kadang-kadang cukup tinggi. Karena itu penulis cenderung untuk menyamakanya dengan zakat pertanian yang memakai biaya irigasi, yakni 5 persen.

Kedua, Bagi kalangan profesional yang bekerja untuk pemerintah misalnya, atau badan-badan swasta yang gajinya tidak mencapai nishab pertanian sebagaimana yang dikemukakan di atas, sebutlah guru misalnya, atau dokter yang bekerja di rumah sakit, atau orang-orang yang bekerja untuk suatu perusahaan angkutan. Zakatnya disamakan dengan zakat emas dan perak yakni 93,6 gram ( sekitar Rp. 8.424.000 , jika diperkirakan harga pergram emas sekarang 90.000,) maka nilai nishab emas adalah Rp. Rp. 8.424.000, dengan kadar zakat 2,5 %. Jika pada akhir tahun jumlah mencapai satu nisab, dikeluarkan zakatnya 2,5 persen, setelah dikeluarkan biaya pokok dari yang bersangkutan dan keluarganya.

Misalnya seorang dosen golongan III/c dengan masa kerja 6 tahun yang keluarganya terdiri dari seorang isteri dan tiga orang anak,
a.menerima gaji Rp. 1.500.000,-
b.honorium dari beberapa PTS, Rp. 500.000,-
Jumlah Rp. 2.000.000,-

dengan pengeluaran:
a. Keperluan hidup pokok Rp. 500.000,-
b. Angsuran kredit perumahan Rp. 500.000,-
Jumlah Rp. 1.000.000.-

Jadi, penerimaan : Rp. 2.000.000,-
Pengeluaran : Rp. 1.000.000,-
Sisa : Rp. 1.000.000-setiap bulan;
setahun = Rp. 1000.000, x 12 = 12.000.000,-,
maka perhitungan zakatnya 2,5% x 12.000.000, = 480.000,-
Dengan perincian seperti itu, berarti ia mesti mengeluarkan zakatnya Rp.480.000 pertahun.

Agar pembayaran zakat ini tidak memberatkan kepada muzakki (si wajib zakat), baik dari segi penghitungannya, maupun dari beban yang harus dikeluarkan pertahun sebagai zakat, hemat penulis lebih baik dibayarkan setiap bulan, ketika menerima gaji. Jadi si muzakki ini dapat mengeluarkan zakatnya Rp. 480.000 : 12 = Rp. 40.000 perbulan.

PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan

1. Bahwa zakat profesi itu hukumnya wajib, sama dengan zakat usaha dan penghasilan lainnya seperti pertanian, peternakan dan perdagangan.

2. Batas nisab harta kekayaan yang diperoleh dari usaha profesi dapat disamakan nisabnya dengan zakat hasil tanaman yaitu 5 wasaq (sekitar 750 kg beras), dengan kewajiban zakat 5 % atau 10 %, dan dibayarkan ketika mendapatkan perolehan imbalan atau upah dari profesi tersebut.

3. Bagi profesi-profesi yang tidak tergolong œwhite collar seperti yang diistilahkan Amin Rais, yang penghasilannya tidak begitu besar, seperti dokter di rumah sakit, guru atau dosen yang hanya menerima gaji tetap dari instansi pemerintah tempat bekerjanya, disamakan nisabnya dengan nisab emas dan perak, yakni 93,6 gram, dengan kewajiban zakat 2,5 persen, yang dikeluarkan setiap satu tahun, dan setelah dikeluarkan biaya kebutuhan pokok.

DAFTAR BACAAN
Syauqi Ismail Syahhatih, Al-Thathbiq al-Ma^ashir li al-Zakat, Penerapan Zakat di Dunia Moderen,terjemahan : Ansari Umar Sitanggal, Jakarta : Pustaka Media dan Antar Kota, 1987.
Ahmad Warson Al-Munawwir, Al-Munawwir Ibrahim Mustafa dkk, Mu^jam al-Wasit, Tehran : Al-Maktabah al-Ilmiyah,
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, Juz I , Beirut : Muassasah al-Risalah, 1994
Didin Hafiduddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infak, dan Sedekah, Jakarta : Gema Insani Press, 2001
M.Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung : Mizan, 1999

sumber http://www.portalinfaq.org

8 thoughts on “ZAKAT PROFESI (FIQH)

  1. seilnava says:

    Zakat Profesi adalah Bid’ah Dhalalah
    Posted on Sabtu, 21 September 2013 | 03.19
    Muslimedianews ~ Bagaimanakah jikalau al-Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa menanggapi tentang Zakat versi baru, Zakat Profesi yang gencar dikampanyekan oleh tetangga sebelah? Inilah ulasan beliau:

    “Di masa Imam Malik bin Anas Ra. ada seorang temannya datang, Imam Malik itu imam besar, gurunya Imam Syafi’i. Imam Malik bin Anas bin Malik, bukan Anas bin Malik sahabat Nabi, bukan. Imam Malik bin Anas bin Malik ‘alaihi rahmatullah, gurunya Imam Syafi’i, orang yang mengarang kitab al-Muwattha’.

    Kenapa disebut al-Muwattha’ (artinya yang menginjak) kenapa? Karena dengan kitab itu, terinjak seluruh kitab yang ada di masa itu oleh kitab al-Muwattha’ Imam Malik. Imam Malik, imam besar dan sangat menghargai adab. Beliau kalau ditanya tentang hukum, tentang suatu pertanyaan soal hukum. Kalau tanya hukum, tanya mau di jalan, mau sambil duduk, mau di pasar, silakan tanya. Kalau nanya hadits, ke rumah. Di rumah beliau berwudhu lagi, pakai sipat matanya, pakai minyak wanginya, pakai jubahnya, pakai sorbannya baru berkata: “Qaala Rasulullah Saw.”

    Berani mengangkat suara di saat ia sedang membaca hadits, dipukul dengan keras oleh Imam Malik: “Jangan mengeraskan suara di depan hadits Rasulullah Saw.”

    Beliau di mana-mana, di Madinah al-Munawarrah tidak berani memakai sandal. Bagaimana berani memakai sandal di tanah bekas pijakan kaki Muhammad Rasulullah Saw.? Imam Malik bin Anas bin Malik ini ketika duduk bersama para sahabatnya, karena sedang santai melunjurkan kaki lagi dipijiti kakinya, maka ia melunjur (selonjor) santai tidak bersila, murid-muridnya semua.

    Lalu Datang tamu tak dikenal, sorbannya besar. Di saat itu berbeda dengan zaman sekarang, sebagian masih memegang kebiasaan itu. Tigkatannya disebut thalib (pelajar), orang yang sudah hafal kitab Bidayatul Hidayah, itu pakai sorban panjangnya 5 hasta, juga thalib. Kalau ia sudah mengajar maka panjang sorbannya 7 (saya masih menggunakan 7 hasta), kalau ulama besar 9-12 hasta.

    Ini imamah (sorban) tamunya besar, ulama besar dari mana nih? Maka Imam Malik yang sedang berlunjur santai, segera menarik kakinya untuk bersila menghormati ulama bersorban besar ini, tidak boleh sembarangan, harus sopan. “Apa yang bisa kubantu?”

    Ia berkata: “Aku datang mau bertanya.”

    Imam Malik bertanya lagi: “Apa pertanyaanmu hadits, ayat atau hukum? Kalau hadits tunggu dulu. Atau ayat, biarkan aku bebenah dulu.”

    Maka tamu bersorban besar itu berkata: “Tidak, aku mau tanya masalah hukum.”

    Imam Malik berkata: “Iya apa pertanyaanmu?”

    Si tamu bersorban besar bertanya: “Pertanyaannya bagaimana kalau besok matahari tidak terbit?”

    Imam Malik diam, lalu menunduk dan bergumam: “Besok matahari tidak terbit, oh… jawabannya berarti aku boleh duduk berlunjur kaki lagi.”

    Maksudnya apa? Orang ini tidak waras. Bagaimana matahari tidak terbit hari esok, tanda kiamat belum beres. Besok bukan hari Jum’at, nanya besok matahari tidak terbit lagi, tidak waras berarti. Jawabannya: “Aku boleh selonjor lagi.”

    Hadirin-hadirat yang dimuliakan Allah, jadi menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang ditanya oleh orang-orang mubtadi’in tidak perlu dijawab kalau seandainya keluar dari akidah dan tidak jelas.

    Apa itu mubtadi’in? Mubtadi’in itu segala-segalanya bid’ah, ini bid’ah itu bid’ah bid’ah bid’ah. Imam Malik sudah pegal melihat orang kaya gini, yang model kaya gini sudah ada di zaman Imam Malik. Kalau dibilang kecebongnya lah, kalau sekarang sudah jadi. Kalau dulu kecebongnya sudah ada.

    Ia berkata: “Ya Imam, kaif ainallah.”

    Imam Malik menjawab: “Majhul, ma’qul, iimaan bihi waajib, wa su-aal ‘anhu bid’ah (Masuk akal, tidak diketahui maknanya dan mempertanyakan masalah itu bid’ah). Dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan ia dari hadapanku”, kata Imam Malik. Di zaman Imam Malik kecebongnya diusir.

    Hadirin, demikian saudara-saudariku, yang demikian jangan dimusuhin ya, kasihan saudara-saudara Muslim kita banyak yang dijebak hal ini, segala-gala bid’ah, segala-gala bid’ah. Justru hal-hal yang bid’ah mereka memperbuatnya. Kalau kita hal-hal yang sunnah kita qiyaskan, kita buat seperti Maulid, Nishfu Sya’ban dan lainnya.

    Qiyas untuk syiar justru malah diperangi, tapi justru hal-hal yang betul-betul tidak perlu ditambah, mereka tambah-tambahi. Seperti zakat profesi, kapan munculnya hukum zakat profesi. Zakat profesi tidak pernah ada di seluruh madzhab. Karena apa? Zakat itu hal yang fardhu, mau ditambahin.

    “Ya, tapi sekarang banyak orang yang masuk non Muslim, keluar dari Islam gara-gara kelaparan karena Muslim tidak mengeluarkan zakatnya.”

    Ooo… jadi kalau begitu orang banyak ibadah, banyak maksiat, sekarang shalat tambahin juga jadi 6 waktu, tidak bisa begitu. Yang fardhu ya fardhu, tidak bisa ditambah.

    “Ya, tapi sekarang bagaimana dengan banyaknya orang yang kelaparan ini?”

    Ya kita setujui sedekah profesi, setuju!. Mau tiap hari, mau tiap bulan, mau ½ persen, 50 persen, kalau perlu 100 persen. Tapi sedekah profesi jangan ngomong zakat profesi. Kalau zakat = fardhu, nggak bayar, halal darahnya.

    Hadirin-hadirat yang dimuliakan Allah, hal seperti ini justru diputarbalikkan oleh mereka menjadi zakat profesi, itu yang justru bid’ah dhalalah.”

    Sya’roni As-Samfuriy / Sumber: http://www.majelisrasulullah.org

    Sumber MMN: http://www.muslimedianews.com/2013/09/zakat-profesi-adalah-bidah-dhalalah.html#ixzz2fo5cAIHl

  2. nasrun jamain says:

    Menafsir ayat sj yg sdh jelas manusia masih berbeda apa lg menghukumi sesuatu yg tdk ada pd zaman nabi. Yg salah menurut sy adalah mklem diri yg paling benar dan org lain salah semua.

Leave a comment